Apa dampak undervalue invoice terhadap proses customs clearance?


October 07, 2025


Bayangkan seorang importir membawa masuk 10.000 unit smartphone dari China ke Indonesia. Harga pasarnya sekitar USD 500 per unit, tetapi di invoice tertulis hanya USD 100 per unit. Alasannya sederhana: agar biaya bea masuk dan pajak impor jadi lebih kecil.

Sekilas, strategi ini terlihat cerdik. Tetapi begitu barang tiba di pelabuhan, sistem bea cukai langsung mendeteksi adanya ketidakwajaran harga. Barang pun tidak bisa langsung keluar. Alih-alih hemat, importir justru menghadapi pemeriksaan berlapis, pajak tambahan, denda, bahkan ancaman blacklist.

Fenomena inilah yang disebut undervalue invoice praktik yang terlihat menguntungkan jangka pendek, namun berpotensi jadi bumerang besar dalam proses customs clearance Indonesia.

Apa Itu Undervalue Invoice?

Undervalue invoice adalah praktik melaporkan nilai barang impor lebih rendah dari harga sebenarnya dalam dokumen invoice. Tujuannya: mengurangi bea masuk, PPN impor, dan PPh impor.

Contoh sederhana:

  • Harga asli laptop = USD 700/unit
  • Dilaporkan di invoice = USD 50/unit
  • Selisih harga dasar pengenaan pajak jadi lebih kecil.

Namun, otoritas bea cukai memiliki database harga internasional (misalnya WCO Valuation Database, INTRACOM, dan data referensi pasar) untuk mendeteksi ketidakwajaran. Artinya, undervaluation tidak akan lolos begitu saja.

Mengapa Bea Cukai Sensitif terhadap Nilai Invoice?

  1. Sumber penerimaan negara
    Pajak impor dan bea masuk adalah salah satu penyumbang besar pendapatan negara. Menurut DJBC, pada 2023 penerimaan bea dan cukai mencapai Rp 300 triliun lebih. Undervaluation jelas mengurangi potensi penerimaan ini.
  2. Keadilan pasar
    Importir yang jujur akan dirugikan bila ada kompetitor yang mengurangi nilai invoice untuk menekan biaya. Karena itu, bea cukai menjaga level playing field.
  3. Standar internasional
    Indonesia terikat pada WTO Customs Valuation Agreement (World Trade Organization) yang mengatur bahwa nilai pabean harus sesuai dengan nilai transaksi yang sebenarnya.

Baca juga : Dampak Positif Jika Ekspor Lebih Besar daripada Impor

Tahapan Customs Clearance & Titik Deteksi Undervaluation

Dalam proses customs clearance Indonesia, undervalue invoice biasanya terdeteksi di beberapa tahap berikut:

  1. Penyampaian PIB (Pemberitahuan Impor Barang)
    Importir menyerahkan dokumen impor, termasuk invoice, packing list, dan bill of lading.
  2. Risk Management System (RMS)
    Sistem otomatis DJBC memeriksa apakah nilai barang sesuai dengan harga referensi internasional. Jika ada perbedaan mencolok, barang masuk jalur merah.
  3. Pemeriksaan Dokumen & Fisik
    Petugas mencocokkan isi invoice dengan kondisi barang aktual.
  4. Penetapan Nilai Pabean Ulang (Revaluation)
    Jika ditemukan undervalue, bea cukai menetapkan nilai baru berdasarkan data referensi.
  5. Pembayaran Bea Masuk & Pajak Tambahan
    Importir tetap wajib membayar sesuai nilai sebenarnya, plus risiko denda.

Dampak Finansial: Dari Hemat Jadi Rugi

Mari kita simulasikan.

Skenario:

Import barang elektronik (HS Code: 8517) sebanyak 1.000 unit.

  • Harga asli = USD 500/unit
  • Nilai total sebenarnya = USD 500.000
  • Invoice undervalue = USD 100/unit (total USD 100.000)

Tarif Pajak:

  • Bea masuk = 10%
  • PPN impor = 11%
  • PPh impor = 7,5%

Perhitungan Pajak:

Jika invoice undervalue (USD 100.000):

  • Bea masuk: 10% x 100.000 = USD 10.000
  • PPN: 11% x (100.000 + 10.000) = USD 12.100
  • PPh: 7,5% x 100.000 = USD 7.500
  • Total pajak dibayar = USD 29.600

Jika invoice sesuai harga asli (USD 500.000):

  • Bea masuk: 10% x 500.000 = USD 50.000
  • PPN: 11% x (500.000 + 50.000) = USD 60.500
  • PPh: 7,5% x 500.000 = USD 37.500
  • Total pajak seharusnya = USD 148.000

Konsekuensi saat ketahuan undervalue:

  • Importir tetap harus bayar USD 148.000
  • Ditambah denda hingga 100% dari selisih pajak (USD 118.400)
  • Biaya gudang/demurrage karena barang tertahan ± Rp 100–200 juta

Hasil akhirnya: biaya lebih besar daripada jika importir jujur sejak awal.

Dampak Non-Finansial

  1. Delay Supply Chain
    Barang tertahan berhari-hari atau berminggu-minggu → kontrak dengan buyer bisa gagal.
  2. Biaya Gudang & Demurrage
    Pelabuhan dan gudang memiliki tarif harian. Semakin lama barang tertahan, semakin besar biayanya.
  3. Compliance Rating Importir
    Bea cukai memberi “rating” pada importir. Importir dengan catatan buruk akan lebih sering masuk jalur merah.
  4. Reputasi Bisnis
    Supplier luar negeri bisa kehilangan kepercayaan bila tahu importirnya tidak transparan.
  5. Potensi Blacklist
    Importir bisa masuk daftar hitam → sulit mengimpor lagi di masa depan.

Studi Perbandingan di ASEAN

  • Singapura: Menetapkan denda besar dan ancaman pidana bila importir sengaja undervaluation.
  • Malaysia: Bea cukai berhak menyita barang jika nilai invoice jauh dari pasar.
  • Vietnam: Sering menindak kasus undervaluation di sektor tekstil & elektronik.
  • Indonesia: Menurut laporan DJBC 2023, lebih dari 30% pelanggaran impor berkaitan dengan undervalue invoice, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah per tahun.

Alternatif Legal untuk Menekan Biaya Impor

  1. Memanfaatkan Free Trade Agreement (FTA)
    Misalnya, skema ASEAN–China FTA bisa menurunkan tarif hingga 0% untuk produk tertentu.
  2. Tarif Preferensi
    Gunakan HS Code yang benar agar mendapat tarif preferensi sesuai negara asal.
  3. Gudang Berikat (Bonded Zone)
    Menunda pembayaran bea masuk hingga barang keluar dari gudang.
  4. Konsultasi HS Code
    Pastikan klasifikasi barang sesuai untuk menghindari salah bayar tarif.
  5. Manfaatkan Jalur Hijau
    Importir dengan kepatuhan tinggi bisa mendapat jalur hijau → proses cepat, minim pemeriksaan.

Kesimpulan

Undervalue invoice terlihat menguntungkan, tetapi kenyataannya membawa lebih banyak kerugian:

  • Customs clearance jadi lebih lama,
  • Pajak tetap dibayar sesuai harga asli,
  • Denda dan biaya tambahan membengkak,
  • Risiko blacklist dan reputasi

Solusi terbaik adalah kepatuhan dokumen impor dan strategi legal untuk efisiensi biaya. Dengan cara ini, proses impor tetap lancar, bisnis lebih sehat, dan hubungan dengan bea cukai tetap baik.

Referensi

  1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). (2023). Laporan Kinerja DJBC 2023.
  2. World Customs Organization (WCO). Customs Valuation Agreement.
  3. WTO. (2022). Trade Policy Review: Indonesia.
  4. ASEAN Secretariat. (2023). ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA).
  5. Kementerian Keuangan RI. (2023). Penerimaan Negara dari Bea Masuk dan Pajak Impor.

Contact the Uniair Cargo team today for a FREE consultation and export cost estimate!
Also, follow us on Instagram at @uniaircargo for logistics tips, up-to-date information, and export inspiration!

Understanding the Customs Clearance
Bea Cukai

MAY 21, 2025

Understanding the Customs Clearance Process with U...

HS Code Besi dan Baja
Bea Cukai

JULY 14, 2025

HS Code Besi dan Baja: Panduan Lengkap Impor Ekspo...

Kesalahan dalam Dokumen
Bea Cukai

SEPTEMBER 22, 2025

5 Kesalahan dalam Dokumen Import yang Harus Dihind...