Apa yang Terjadi Apabila Negara Mengalami Bangkrut (Sovereign Default)?


July 25, 2024


Apakah negara bisa bangkrut? Jawabannya adalah bisa, namun bukan berarti ketika negara bangkrut maka hancurlah seluruh aktivitas ekonomi di dalamnya. Keadaan default adalah keadaan di mana sebuah negara tidak lagi mampu membayar utang namun masih memiliki obligasi, aktivitas ekonomi tetap berjalan walau terjadi resesi atau krisis.

Sama seperti organisasi lainnya, negara yang merupakan sebuah komunitas berdaulat juga ternyata bisa mengalami malfungsi manajemen keuangan yang menyebabkan dirinya terjebak utang dan tidak mampu membayar hingga bangkrut.

Sebenarnya sah-sah saja untuk sebuah negara memiliki utang. Utang diperlukan sebagai modal awal dalam mengembangkan negara melalui berbagai kebijakan. Utang dalam bernegara bisa saja berjalan dengan baik selama negara tersebut telah memiliki pijakan ekonomi yang kuat.

Seperti yang dicatatkan oleh Lembaga Moneter Dunia (IMF) pada tahun 2022. Terlihat Jepang menjadi negara dengan rasio utang terbesar di dunia jika dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang yang dimiliki Jepang mencapai angka 261,3%. Hal ini masih jauh dari Indonesia yang menempati urutan 114 dengan rasio utang 40,14%.

Namun meskipun rasio utangnya lebih kecil, bukan berarti kita dapat merasa lebih tenang. Dalam terminologi utang negara, kemampuan membayar melalui sistem ekonomi lebih dibutuhkan dibanding persentase jumlah utangnya. Negara berpenghasilan rendah tetap berisiko lebih tinggi menghadapi kebangkrutan walau memiliki rasio utang yang lebih kecil dibanding negara adidaya.

Apa saja yang terjadi jika negara bangkrut (default state) dan apa dampaknya terhadap negara tersebut beserta masyarakat di dalamnya? Artikel ini akan membahasnya.

Apa yang Terjadi Jika Negara Bangkrut (Default State)?

Negara yang mengalami bangkrut akan memberikan dampak kepada seluruh instrumen di dalamnya. Perusahaan yang ada di dalam negara tersebut dapat melakukan proses efisiensi bisnis secepatnya untuk menyelamatkan kondisi finansial mereka. Hal ini berimbas pada naiknya pengangguran dan tingginya inflasi. Pada titik kritis tertentu, akses kesehatan dan pendidikan dapat menurun secara drastis dan menyebabkan kekacauan sosial.

Tidak seperti perusahaan atau organisasi lainnya, negara tidak bisa menyatakan bangkrut dengan mudah. Karena ada banyak warga atau masyarakat yang bergantung di dalamnya, negara harus dapat mengupayakan segala cara demi menghindari kebangkrutan seperti melakukan restrukturisasi, berupaya negosiasi ulang dengan kreditur tentang kontrak pembayaran utang, hingga melakukan pengajuan dana pinjaman darurat ke berbagai lembaga termasuk Lembaga Moneter Dunia (IMF).

Penyebab Negara Mengalami Kebangkrutan

Melansir dari situs Lembaga Moneter Dunia (IMF), ada dua hal utama yang dapat menyebabkan negara mengalami kebangkrutan, antara lain:

Faktor Domestik

Faktor domestik terjadi karena adanya kebijakan fiskal dan moneter yang tidak tepat sehingga menyebabkan ketidakseimbangan neraca di mana defisit fiskal serta tingginya utang mencapai titik tertentu. Akibatnya nilai tukar uang dapat turun drastis, adanya risiko hilangnya cadangan devisa, hingga sistem keuangan yang melemah. Jika tidak segera ditanggulangi, hal ini dapat membawa kehancuran perekonomian negara tersebut. Ketidakstabilan politik dan institusi juga dapat memperparah krisis yang terjadi.

Faktor Eksternal

Selain karena adanya kesalahan kebijakan, faktor eksternal seperti bencana alam, adanya wabah, hingga perubahan harga komoditas secara signifikan juga dapat menjadi penyebab kebangkrutan negara. Hal-hal tersebut dapat menjadi titik kritis bagi sebuah negara terutama negara-negara yang memiliki penghasilan tahunan rendah.

Misalnya saja pada masa pandemi Covid-19. Wabah ini menjadi guncangan eksternal hampir di seluruh dunia. IMF bahkan menggelontorkan dana yang tidak sedikit demi memberikan dukungan bantuan keuangan ke berbagai negara untuk melindungi perekonomian sekaligus kelompok paling rentan. Tercatat beberapa negara yang mengalami kenaikan rasio utang hingga terancam default state pada masa ini antara lain Pakistan (74%), Mozambik (133,6%), Angola (103,7%), Kongo (85,4%), Ghana (82,3%), dan beberapa negara berpenghasilan rendah di Afrika lainnya.

Selain bencana alam dan wabah, era globalisasi seperti saat ini juga menunjukan apabila adanya perubahan sentimen pasar yang dapat memengaruhi volatilitas aliran modal. Negara-negara dengan fundamental yang baik pun dapat terkena dari krisis ekonomi yang terjadi di negara lain.

Apakah Negara yang Bangkrut Masih Bisa Diselamatkan?

Secara teori, negara yang mengalami kegagalan terutama dalam membayar utang dan terancam bangkrut masih bisa diselamatkan melalui berbagai kebijakan dan tindakan. Namun dalam praktiknya ada berbagai perbedaan kepentingan yang mengakibatkan proses penyelamatan ini dapat tertunda atau berakhir alot.

Misalnya saja adanya keinginan dari berbagai pihak yang memiliki dana dan ingin meminimalisir kerugian sehingga sulit memberikan pinjaman atau investasi. Selain itu ada pula faktor geopolitik yang membuat beberapa negara merasa ragu atau bahkan menolak bekerjasama.

Masalah ini bisa semakin buruk dengan adanya kreditor swasta yang menolak memberikan informasi mengenai pinjaman mereka, sehingga sulit menentukan siapa yang memegang utang dan proses negosiasi yang menjadi semakin lama.

Bagaimana Nasib Masyarakat di Negara yang Bangkrut?

Jika restrukturisasi utang berlangsung alot dan sulit menemukan titik terang, maka yang paling berdampak dari hal ini ialah masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.

Beban yang ditanggung oleh kelompok rentan dapat semakin berat karena mereka harus berfokus untuk mengurangi bahan pangan dan bahan bakar untuk konsumsi harian. Selain itu pemutusan akses pendidikan dan juga kesehatan akan dilakukan karena dianggap sebagai kebutuhan non-primer.

Jika berlanjut terlalu lama, hal ini akan meningkatkan rasio kemiskinan di negara tersebut yang berdampak pada penurunan PDB nasional. Selain itu, perlahan angka harapan hidup juga akan turun seiring dengan tingginya kematian bayi dan banyaknya masyarakat yang menderita.

Sebuah studi yang dilakukan di 131 negara yang dianggap gagal bayar menunjukan bahwa dalam 10 tahun setelah periode gagal bayar,  rata-rata angka harapan hidup turun 1,5% dibandingkan negara yang tidak mengalami kebangkrutan di periode yang sama.

Itulah kemungkinan buruk yang terjadi jika negara mengalami kebangkrutan (default state). Tentunya untuk menghindarinya dibutuhkan kerja sama yang kuat antara pemerintah negara dengan instrumen terkait, termasuk pengusaha yang menjadi pendorong roda ekonomi di negara tersebut.

Contact the Uniair Cargo team today for a FREE consultation and export cost estimate!
Also, follow us on Instagram at @uniaircargo for logistics tips, up-to-date information, and export inspiration!

legalitas ekspor pasir laut
Ekonomi dan Bisnis

OCTOBER 29, 2025

Legalitas Ekspor Pasir Laut Apa yang Harus Diperha...

Strategies to Handle Fuel Price
Ekonomi dan Bisnis

FEBRUARY 24, 2025

Strategies to Handle Fuel Price Fluctuations in th...

Komoditas Unggulan Ekspor Indonesia
Ekonomi dan Bisnis

JUNE 20, 2025

5 Komoditas Unggulan Ekspor Indonesia: Paling Dica...